Saya (pernah) jatuh cinta pada orang yang dulu saya kira paling idealis sedunia. Jika saja boleh dideskripsikan, ia seperti kopi instan dalam baris cangkir hidup saya selama ini: selalu diminum namun tak pernah habis.
Saya belum pernah menyadari ini sebelumnya, sampai beberapa malam lalu saya lihat empat cangkir membisu di pojokan kamar, berjejer dengan fotokopian tugas-tugas kuliah, yang mana tiga diantaranya masih menyisa 3/4 dari ukuran cangkir. Sedang satu cangkir lagi benar-benar surut hanya bersisa ampas.
Setelah saya ingat-ingat kembali, satu cangkir terakhir yang saya sebut adalah kopi yang saya racik sendiri. Entah bodoh atau apa, bahkan untuk menyadari bahwa saya tidak begitu ‘welcome ‘ pada kopi instan membutuhkan waktu lama.
Kembali lagi, saya bukan orang yang mudah jatuh cinta. But if i fall once, i’ll fall hard. Menjatuhkan hati pada orang baru, setelah kamu menjalin hubungan yang lama dengan seseorang, tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan. Selalu saja muncul perbandingan-perbandingan, adaptasi dengan kebiasaan baru, panggilan baru, rasanya aneh. Maka orang-orang yang begitu mudahnya berlalu-lalang menjatuhkan hati pada orang yang berbeda, tidak pernah masuk nalar saya.
Selain matematika, saya kira orang-orang yang saya sebutkan di atas termasuk dalam kategori ‘non-makes-sense’ di otak saya. Entah. Saya pikir kamu bebeda, namun nyatanya masuk kategori ‘non-makes-sense’ juga. Akhirnya, setelah saya pikir-pikir lagi, kamu itu dulu memang mirip kopi instan yang sering saya beli di warung batak dekat rumah: gampang ditemukan dimana-mana, terlalu manis, banyak mengumbar janji di bungkus dan iklan komersialnya, nikmat, namun menjemukan. Itu sebabnya tak pernah saya habiskan.
Setelah melihat tiga cangkir tersebut, mulai beberapa malam lalu, saya rutin meracik kopi sendiri: 2 sendok Aceh Gayo hasil beli di kedai kopi langganan, 1 sendok krimer dan satu sendok gula. Hasilnya? Luar biasa. Saya seketika mampu bilang “ini dia” dan mendeklarasikan perjanjian pada diri sendiri. Kira-kira begini bentuknya:
“Saya memang tak pernah punya jadwal tetap kapan harus menjatuhkan hati lagi. Namun untuk jatuh cinta selanjutnya, saya sudah putuskan untuk tidak lagi bertemu yang pernah semanis kamu — namun jemu. Walaupun entah akan seberapa sulit menemukannya, saya akan memilih jatuh pada orang yang mirip kopi racikan saya saat ini: didominasi rasa pahit, gurih, sedikit rasa manis yang hanya jadi latar belakang, pas, tidak membuat saya banyak bertanya-tanya, dan mampu membuat saya bilang ‘ini dia orangnya’”
Jadi apalagi?
Tentu saja “Selamat tinggal kamu, kopi instan yang tak pernah habis!”