Aku muncul di rumah menjelang subuh. Tak berapa lama kemudian adik perempuanku juga muncul. Ia membuka pintu sambil menangis, “Bapak sudah meninggal?”
“Belum,” kataku.
“Kata dokter sudah.”
Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa bergerak, tangisnya reda. Adikku bilang bahwa setelah menerima telepon dari Ibu untuk pulang, ia mampir dulu ke pusat kesehatan di kampusnya untuk memeriksa matanya yang gatal. Apa yang dikatakan Ibu kepadanya persis seperti yang kudengar, Kalau sempat, kamu pulang, kata perawat yang mengurusnya, ginjal Bapak sudah tidak berfungsi.
Adik perempuanku sambil lalu bertanya kepada dokter yang memeriksa matanya, “Oh, ya, Dok, ngomong-ngomong kalau orang sudah enggak berfungsi ginjalnya, apa yang akan terjadi?”
Tanpa menoleh, sambil menulis resep, si Dokter menjawab, “Mati.”
“Astaghfirullah,” pekik adikku, air matanya tak tertahankan tumpah, membuat si dokter terkejut. Sepanjang perjalanan pulang ia menangis, berpikir Bapak sudah mati.
Aku yakin jika Bapak masih mendengar obrolan kami, ia akan tertawa. Ia suka tertawa. Barangkali ia mendengarnya, tapi ia tak bisa menggerakkan mulutnya, bahkan untuk tertawa. Namun, aku yakin ia tertawa di dalam hatinya. Tertawa hingga tidur.
***
Kami berkumpul di sekitar Bapak. Ibu dan adik perempuanku yang paling tua sedang membaca Yaa Sin. Aku tak ikut membaca. Aku bisa membaca, tapi tak bakalan secepat mereka, karena itu aku memilih mendengarkan saja. Adik-adikku yang lain sama buruknya denganku dalam membaca Al-Quran.
Bapak sendiri yang mengajari kami mengaji. Aku khatam Al-Quran tiga kali jika aku tak salah ingat. Bapak mendirikan surau kecil di belakang rumah dan kemudian mengajari pula anak-anak tetangga mengaji. Ia juga memberikan khotbah Jumat di masjid. Aku selalu melihatnya setiap Jumat pagi menulis khotbahnya. Ketika modin masjid itu meninggal, ia menggantikannya.
Karena masjid itu milik Muhammadiyah, banyak orang berpikir Bapak orang Muhammadiyah. Ia tak keberatan dengan anggapan itu, toh ia selalu puasa maupun lebaran mengikuti kalender orang-orang Muhammadiyah. Termasuk shalat Tarawih sebelas rakaat, meskipun jika terpaksa, ia mau mengikuti Tarawih bersama orang-orang NU (misalnya bersama Kakekku, yang selalu ngotot shalat Tarawih 23 rakaat).
Sambil duduk menghadap Bapak, aku bertanya-tanya apakah Bapak pernah berharap salah seorang anaknya akan menggantikannya menjadi pengkhotbah Jumat?
“Jangankan kasih khotbah, kamu ngaji saja enggak benar,” Kata Ibuku.
Benar juga. Jika Bapak menginginkan itu, mestinya ia mengirimku ke pesantren. Nyatanya, ia membiarkanku pergi untuk kuliah filsafat denga resiko besar menemukanku anaknya tak pernah lagi shalat dan puasa. Ketik aku pulang semester tiga mengenakan kaus bergambar Lenin, justru ibuku yang berseru:
“Lihat, anakmu jadi kuminis.” (ia tidak bilang komunis, tapi kuminis.)
Bapak, seperti biasa, hanya tertawa.
Bapak juga membiarkan adik lelakiku kuliah di jurusan peternakan, dan setelah berbagai penelitian dengan ayam ras, adikku mengamini Charles Darwin, percaya nenek moyang manusia dan monyet (juga ayam) memang sama. Tidak ada Adam dan Hawa. Bapak tak peduli dan memberinya modal untuk membuat peternakan ayam.
Waktu pemilu 1999, Ibu yang memilih Partai Bulan Bintang (begitu juga Bapak setelah bertahun-tahun lalu memilih Masyumi, lalu Partai Persatuan Pembangunan), kembali mengadu. Kali ini gara-gara di seantero desa hanya satu orang yang mencoblos Partai Rakyat Demokratik dan semua orang tahu itu kelakuan adikku si peternak ayam, karena hanya ia yang memasang bendera partai itu di depan rumah.
“Satu lagi anakmu jadi kuminis.”
Kembali bapak hanya tertawa. Aku tahu ia lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam tetangga daripada melihat anak yang mengenakan kaus Lenin atau mencoblos PRD.
Meskipun demikian, salah seorang adik perempuanku, yang kini membaca Ya Sin bersama ibu, akhirnya kuliah ke Institut Agama Islam Negeri di Yogyakarta. Namun, tak ada tanda-tanda Bapak merencanakannya menjadi guru mengaji. Paling tidak ia pernah berkata kepadaku saat itu:
“Biar dia pergi dari rumah dan ketemu jodoh.”
Adikku yang ketiga, yang menangis setelah bertemu dokter, kuliah di Sastra Indonesia. Hanya adik kami yang paling bungsu, laki-laki, yang masih sekolah. Ia duduk bersila bersama kami, gelisah. Ia ingin pergi dari sana. Aku tahu ia ingin pergi ke kamarnya dan bermain PlayStation. Akhirnya, aku, memiliki sedikit hak menyuruh sebagai anaka paling tua, memperbolehkannya pergi.
“Ia lagi jatuh cinta, dua hari yang lalu ketemu cewek di bus,” kata adik perempuanku setelah usai membaca Ya Sin.
“Cewek?”
“He-eh. Katanya cewe itu mengedipkan mata ke arahnya.”
“Terus?”
Adikku jadi tertawa kecil. “Terus, ia bilang, jantungnya serasa berhenti seketika. Sepanjang jalan ia enggak berani melihat ke cewek itu. Ia pingin mendekatinya, mengajaknya berkenalan, tapi enggak berani. Hahaha…”
“Terus?”
“Nah, ini yang paling lucu. Akhirnya, ia sampai ke tempat tujuan. Takut tak punya kesempatan untuk melihatnya lagi, ia memberanikan diri memandang cewek itu. Si cewek konon masih melihat ke arahnya. Maka, sambil turun dari bis, ia tling, membalas mengedipkan mata untuk cewek itu. Gara-gara itu ia tersungkur ke selokan pinggir jalan.”
“Hahahaha ….”
Jika ada yang disesali Bapak kalau mati saat itu, mungkin karena ia belum sempat melihat adik bungsuku tumbuh besar dan pergi jauh dari rumah seperti yang lainnya. Namun barangkali ia mendengar cerita adikku, dan jika ia mendengarnya, aku yakin ia akan tersenyum. Senyum kecil di sudut hatinya, pengantar tidur panjangnya.
Anaknya yang paling kecil sudah besar. Sudah bisa mengedipkan sebelah mata untuk seorang gadis di dalam bus.
***
Waktu masih awal umur belasan tahun,aku tak punya malam Minggu sebagaimana teman-temanku. Tak ada pacar, tak ada genjreng gitar memainkan “Party Doll”(tak masalah, aku baru menyukai The Rolling Stones dna Mick Jagger bertahun-tahun setelah itu), dan tak ada acara menonton televise. Bapak mengajakku ke pengajian.
Bukan hal yang buruk, sebenarnya. Pengajian itu dilakukan di rumah pemilik penjagalan sapi. Di akhir acara selalu ada penutup istimewa (dan ini yang paling kutunggu): makan malam dengan berbagai hidangan sapi. Aku tak ingat dari mana ustaz yang memimpin pengajian. Yang aku ingat, ia hafal Al-Quran dan artinya di luar kepala. Jika seseorang bertanya mengenai suatu masalah, dengan cepat ia bisa menunjukkan surah dan aya berapa sebagai jawabannya. Untuk itulah setiap orang harus membawa Al-Quran dengan terjemahan, untuk mencocokkan dan membuktikannya.
Kalimatnya yang paling terkenal adalah, “Semua jawaban ada di Buku ini.”
Hingga suatu ketika ia berbicara tentang “saudara-saudara kita” di Afghanistan. Aku lupa berapa lama isu ini dibawakan. Pasti berminggu-minggu.
Lalu, suatu malam aku bilang pada Bapak, “Aku mau pergi ke Afghanistan.”
Bapak tak menjawab apa pun. Malahan ia tak mengajakku ke pengajian minggu depannya dan minggu depannya lagi. Aku tak ingat apakah ia ia sendiri masih mengikuti oengajian itu atau tidak, yang jelas kemudian seluruh rumah terjangkit cacar air, kecuali aku. Bapak menyuruhku mengungsi sementara waktu ke rumah salah seorang pamanku. Di sana paman meminjamiku radio.
Begitulah malam Minggu-malam Minggu selanjutna lebih banyak kuhabiskan di dekat radio. Lagi pula, aku baru saja berkenalan dengan seorang gadis adik kelasku. Aku selalu mengirimnya pesan lewat radio, bersama dengan lagu. Ia tak pernah membalasnya, tapi aku tetap mengejarnya. Usaha pengajaraku yang memakan waktu berbulan-bulan membuatku lupa akan gagasan pergi ke Afghanistan.
Kini, sambil memandang Bapak yang berbaring di tempat tidur, aku memikirkan waktu-waktu itu. Aku tak tahu apakah aku harus bersyukur atau tidak. Jika bapak mengizinkanku pergi ke Afghanistan, mungkin sekarang aku tak akan ada di sisinya. Mungkin aku sekarang berada di dalam daftar buron karena peledakan gereja atau hotel. Barangkali lebih daripada itu. Karena menurutku aku lebih pintar dari kebanyakan orang, barangkali nasibku jauh lebih buruk: dipenjara di Guantanamo. SIapa tahu?
Kupandangi Bapak. Jika ia sehat sebagaimana dulu, dengan mudah ia pasti bisa membaca pikiranku. Dan, ia pasti akan tertawa sampai air matanya meleleh. “Enggak mungkin,” begitu ia akan bilang. “Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah mengapa kamu tak pergi ke Afghanistan. Kamu selalu takut dengan polisi dan tentara meskipun kamu tampaknya tak pernah takut dengan neraka.”
***
Akhirnya, bapak meninggal, pada malam kedua keberadaanku di rumah. Menjelang subuh. Umurnya 63 tahun, menjelang 64. Ia pasti senang sekali sebab itu umur yang sama dengan Rasulullah. Ibuku juga senang, terutama karena ia mendengar kata terakhir yang diucapkan Bapak sebelum meninggal adalah “Allah”.
Kata ibu, sudah beberapa hari Bapak tak mengeluarkan suara apa pun, selain tidak bergerak. Namun, setengah jam sebelum meninggal, ia mulai mengerang lagi. Napasnya pendek-pendek. Ibu yang pernah menunggui kakek dan nenekku meninggal tahu waktunya hanya beberapa menit lagi. “Tercium dari aromannya,” begitu ibu bilang. Aku sendiri mencium aroma itu, seperti bau bayi yang baru dilahirkan. Ibu meletakkan piring berisi serbuk kopi di samping Bapak, aku menyemprotkan pengharum ruangan.
Bertiga dengan seorang paman, kami membisikkan nama Allah ke telinga Bapak akhirnya, bapak berhasil mengucapkannya, “Allah”… “Allah”… “Allah”. Setelah itu, bapak meninggal. Ibu menitikkan air mata. Paman menutup mata Bapak. Adik-adikku sudah di sekeliling kami. Aku menelepon istriku yang kutinggal di Jakarta.
Percayalah, aku selalu berpikir bahwa nasib Bapak akan selalu sama dengan nasib Republik Indonesia. Ia lahir sebulan setelah proklamasi. Menurut astrologi China, Bapak dan Republik Indonesia memiliki shio yang sama. Ayam dengan unsur Kayu. Nasib mereka tak akan jauh berbeda.
Misalnya: Pada 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretelin memerdekakan Timor Timur dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua (Bapak dan Republik Indonesia) sama-sama memiliki anggota keluarga baru. Sejak itu usaha bapak (bermacam-macam) menuai keberhasilan. Di tengah puncak kemakmuran, Bapak bangkrut pada 1998. Ha, bukankah begitu juga Republik Indonesia? bapak memperoleh serangan stroke dan sejak itu kesehatannya tak pernah sebaik sebelumnya. Pada 1999 ia mulai membekali dirinya dengan tongkat. (Ya, tahun itu Indonesia dipimpin Gus Dur, presiden yang juga berjalan dengan tongkat.)
Dengan kematian bapak, apakah Republik Indonesia juga akan tamat? Sungguh aku mengkhawatirkannya. Namun, daripada sibuk memikirkan urusan semacam itu, lebih baik aku menyibukkan diri dengan urusan pemakaman bapak. Ia akan dikuburkan persis di samping kuburan ibu mertuanya, nenekku.
Dari tanah kembali ke tanah. Ada empat penggali kubur yang perlu dibayar.
Ada tamu-tamu yang perlu disambut. Ada kerabat yang perlu diberitahu. Begitulah.
***
Empat hari kemudian, aku kembali ke Jakarta dengan bus malam. Tujuh jam perjalanan dan aku akan tiba di Kampung Rambutan. Aku duduk, suara AC berdengung di atasku. Kurebahkan sandaran kursi. Selama lebih dari satu jam aku hanya melamun.
Lalu, kondektur datang mendekat. Aku merogoh dompet di saku celana. Si kondektur berhenti di sampingku, memandang ke arahku. Aku mendongak ke arahnya. Ia sedikit terkejut dan setelah beberapa saat, menyapa, “Apa kabar?”
Sungguh, aku tak merasa mengenalnya.
Sebelum aku sempat membuka mulut, ia sudah berkata lagi, “Ikut berduka atas kepergian bapak.”
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku hendak mengeluarkan uang dari dompet, tapi ia segera menghalanginya. “Tidak usah,” katanya. Lalu, ia bercerita, beberapa tahun lalu ia sempat sakit gigi, tak pernah sembuh oleh obat. Dokter tak berani mencabut giginya sebelum sakitnya hilang. Hingga seseorang menyarankannya menemui seorang kiai. Ia pergi menemui kiai tersebut. Sang kiai memberinya minum. Air putih biasa dari dapur. Sakitnya mendadak hilang dan dokter kemudian mencabut giginya.
“Kiai itu bapakmu,” kata kondektur.
Sejujurnya, aku belum pernah mendengar cerita ini.
Kondektur pergi setelah menepuk bahuku, menghampiri penumpang lain. Aku hanya menoleh, memperhatikan punggungnya. Apa boleh buat, kumasukkan kembali dompet ke saku celana.
Bahkan, pikirku, setelah meninggal bapak masih memberiku ongkos bus. Aku tersenyum sambil kembali bersandar. Ku keluarkan iPod dan kupilih lagu “Seasons in the Sun” dari Terry Jacks. Kupasang earphone dan kupejamlan mata.
“Goodbye, Papa, its hard to die…”
Dan, segera aku terlelap.
Eka Kurniawan, 2007