“Om Kacamata” yang Pucat di Banda Neira

zdzlv
3 min readMar 14, 2017

--

Sebuah memoar kecil tentang Hatta.

Sore itu langit Banda masih sama semburatnya: pucat sekaligus merah jambu malu-malu. Setelah secara tiba-tiba diteriaki petugas dermaga untuk minggir, aku tergopoh menghampiri dua orang pucat yang baru saja turun dari kapal.

Yang satu menanyakan letak rumah dr. Tjipto Mangunkusumo. Sedang yang berkacamata tebal satu lagi hanya tersenyum-senyum saja.

Mereka — dua orang pucat yang kemudian baru diketahui datang dari Boven Digul itu — kemudian kuajak menemui Iwa Kusumasumantri, yang rumahnya lebih dekat dari dermaga dibanding kediaman Tjipto, dua politisi yang lebih dahulu diasingkan di sana.

Setelahnya, aku dan keempat saudara karibku: Does, Lily, Mimi, dan Ali, semakin dekat dengan Sjahrir dan Hatta, si “Om Kacamata” — sebuah julukan dari kelima anak angkatnya. Sepanjang tinggal di Banda Neira, kami berguru pada keduanya dengan pelajaran utama membaca, berhitung, sejarah, dan sopan santun.

Selama di Banda Neira, Om Kacamata kelihatan lebih bergairah dibandingkan dengan saat pertama kali kulihat ia di dermaga. Kendati tetap pucat, namun semburat merah jambu kadang-kadang muncul di wajahnya , seperti saat setelah ia kelelahan mendaki bukit atau main gundu bersama Sjahrir — atau Om Rir, sapaan akrab kami.

Banda Neira mungkin akan tetap jadi pengalaman tak terlupakan bagi lelaki berkacamata tebal itu. Ia seringkali cerita, setelah hari-hari panjang yang gelap di Digul, pada akhirnya ia dapat kembali menyegarkan nuraninya untuk tetap waras. Meski diasingkan, di Banda, kedua orang tersebut tidak diperlakukan sebagai tawanan melainkan tamu; mereka bebas berhubungan dengan penduduk, surat-menyurat tanpa sensor, dan diperbolehkan berlangganan majalah dan koran dari Belanda dan Batavia. Suasana tersebut kembali membangkitkan keinginan-keinginan politis Om Kacamata yang sempat luruh di Digul.

Tidak seperti Om Rir yang lebih periang, Om Kacamata selalu terlihat serius dengan buku-bukunya. Pernah suatu kali aku menyenggol vas bunga dan menumpahkan isinya di atas buku-buku berharga milik Om Kacamata. Barangkali karena kecintaannya yang terlampau besar pada buku-buku yang ia bawa sebanyak 16 peti itu, maka ia marah pada kami dan menyebabkan kesalahpahaman dengan Om Rir. Kata Om Kacamata melalui memoarnya;

“Waktu itu terjadi Sjahrir marah kepada mereka dan aku pun ikut marah. Kukatakan kepada anak-anak itu bahwa mereka harus hati-hati dan menginsafi bahwa buku-buku itu alat pengetahuan dan harus dijaga betul. Rupanya Sjahrir merasa ikut bersalah…”

Meski begitu hal tersebut tidak lantas meregangkan hubungan keduanya dengan kami. Om kacamata mungkin saja kelihatan dingin, tetapi hatinya hangat. Hal tersebut terbukti dari adanya peristiwa penjemputan Om Kacamata dan Om Rir oleh pemerintah Hindia Belanda lewat jalur udara pada 31 Januari 1942.

Sebelum setuju untuk dibawa pulang, Ia membuat kesepakatan dengan petugas kolonial untuk membawa kami semua ikut serta. Namun Catalina (jenis pesawat kecil milik dinas penerbangan militer) bukanlah kapal dengan ruangan yang besar; ia tak sanggup mengusung seluruh rombongan yang kelebihan berat 120 kilogram, hingga akhirnya ia harus merelakan 16 peti bukunya ditinggal di tengah Banda Neira.

Setelah beberapa tahun berlalu, saat pemakaman Om Rir, aku mendengar lelaki berkacamata tebal itu berpidato sendu dan singkat tentang kami; bahwa kami adalah obat untuk hati yang terluka. Bahwa kami adalah salah satu alasan sehingga mereka berdua selalu berhubungan akrab. Kata Om Kacamata, kami adalah obat pemulih dari hari-hari gelap di Digul. Ah andai ia tahu sebaliknya.

Hari ini sesudah hampir 81 tahun silam, kami masih melihat Om Kacamata sama seperti kemarin sore di dermaga. Pucat dan tersenyum malu-malu. Mirip langit Banda.

Ps : — tokoh “Aku” yang digunakan berasal dari perspektif Des Alwi, salah seorang anak angkat Bung Hatta dan Sjahrir yang merupakan keturunan keluarga Raja Baadila, tokoh Banda keturunan bangsawan Arab.

(Tulisan ini bersumber dari liputan khusus Seabad Bung Hatta milik Tempo tahun 2013, dengan beberapa perubahan sudut pandang)

--

--

zdzlv
zdzlv

No responses yet